Penyanyi dan pemain sinetron Syaiful Jamil mengalami kecelakaan di jalan tol Cipularang, 3 September 2011. Kecelakaan tersebut merenggut nyawa Virginia Anggraeni, istri Saiful.
Dalam tempo beberapa menit saja, kabar mengenai peristiwa nahas tersebut beredar cepat melalui Twitter. Lewat akunnya di Twitter, seorang wartawan bahkan mengirimkan twit berisi foto jenazah Virginia yang tergeletak di pinggir jalan.
Meski memancing keingintahuan khalayak, foto itu ternyata malah memicu kecaman para pengguna Twitter. Mereka menganggap menyebarkan foto jenazah merupakan tindakan yang tidak etis, tidak sensitif, dan melukai perasaan keluarga almarhumah. Sadar akan kesalahannya, si penyebar foto segera meminta maaf dan menghapus twit itu.
Pada 5 November 2009, seorang anggota Brimob Kepolisian Daerah, Sulawesi Selatan, bernama Evan juga pernah memicu kehebohan di Facebook. Gara-garanya, ia menulis status berbunyi, “Polri gak butuh masyarakat, tapi masyarakat yang butuh Polri. Maju terus kepolisian Indonesia, telan hidup2 cicak kecil….”
Dalam waktu sekejap, status itu dibanjiri kecaman para pengguna Facebook lainnya. Mereka menilai status itu tak layak keluar dari seorang anggota Brimob. Seorang warga Sleman bahkan melaporkan tindakan Evan itu ke Komisi Kepolisian Nasional. Kasus ini berakhir setelah komandannya turun tangan dan Evan meminta maaf lewat Facebook.
Dua cerita di atas adalah dua contoh kasus kontroversial di media sosial yang pernah terjadi di Indonesia. Ada banyak kasus lain yang juga memicu kegegeran. Kasus-kasus semacam itu kemungkinan besar akan terus bertambah seiring makin banyaknya pengguna media sosial di Indonesia.
Dinamika media sosial sama bergemuruhnya dengan kehidupan sehari-hari. Di sana ada hal-hal yang menyenangkan, sekaligus memprihatinkan. Hal-hal yang mengganggu kenyamanan orang berinternet itu seperti yang terjadi pada kasus penayangan jenazah Virginia dan penulisan status Evan Brimbo di Facebook.
Ketidaknyamanan terjadi di antara karena pelanggaran etika dan norma sosial. Penyebabnya bisa saja karena yang bersangkutan memang sengaja melakukannya atau lantaran sang pelaku belum mengetahui “aturan main” beraktivitas di Internet.
Fenomena itu membuat sebagian pengguna Internet tergerak melakukan sesuatu. Beberapa di antara mereka yang tergabung dalam pelbagai komunitas berinisiatif membuat panduan perilaku di Internet.
Salah satu hasilnya bisa dibaca di situs Internet Sehat.
Menurut tulisan di situs itu, komunitas menilai bahwa Internet seperti dua sisi mata uang. Jejaring mayantara ini dapat membantu mencari, mendapatkan, mengelola dan mendistribusikan banyak informasi yang positif dan bermanfaat bagi individu maupun masyarakat luas. Tapi ia juga membuka peluang bagi diri sendiri terkena dampak negatif ataupun menghadapi perkara dari pihak lain yang dirugikan atau merasa dirugikan.
Dampak negatif ataupun perkara yang timbul akibat penggunaan Internet, dalam batas-batas tertentu dapat diselesaikan secara musyawarah, namun seseorang tetap dapat terkena konsekuensi hukum secara perdata dan/atau pidana.
Agar khalayak terhindar dari jerat hukum, komunitas bersepakat menyerukan kepada seluruh masyarakat luas pada umumnya dan pengguna Internet pada khususnya, agar bijak saat beraktivitas di Internet.
Komunitas juga telah merumuskan acuan etika daring (dalam jaringan) yang bersifat konsep umum, tidak mengikat, boleh diadopsi siapapun, dan diadaptasi sesuai kebutuhan masing-masing.
Etika itu pada dasarnya menyerukan bahwa semua pengguna Internet harus menjunjung tinggi dan menghormati: nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan berekspresi, perbedaan dan keragaman, keterbukaan dan kejujuran, hak individu atau lembaga, hasil karya pihak lain, norma masyarakat, tanggung-jawab.
Kita berharap dengan adanya panduan perilaku, kasus foto jenazah dan Evan Brimob tak akan terulang lagi di masa datang.
>> Selamat hari Jumat, Ki Sanak. Apakah sampean peduli pada masalah etika di Internet?
Filed under: Blog, Indonesiana Tagged: ethic, etika, internet, Internet Sehat
Link to full article
Không có nhận xét nào:
Đăng nhận xét